Jum'at, 7 Agustus 2020 pengurus Rayon Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan Komisariat Ki Ageng Ganjur IAIN Pekalongan mengadakan kegiatan
ziarah religi di makam Syekh Mohammad Ashral (Mbah Wali Gendhon) Kesesi,
Pekalongan dan di makam Ki Ageng Cempaluk, Kesesi, Pekalongan. Kegiatan
tersebut diadakan oleh pengurus Rayon Tarbiyah dan Ilmu Keguruan dengan tujuan
untuk mengenang jasa dan perjuangan ulama Nusantara.
Untuk lebih memahami akan sejarah dari beliau maka kita juga perlu mengadakan kajian lebih lanjut mengenai perjuangan dan kisah hidup Syekh Mohammad (Mbah Wali Gendon) dan Ki Ageng Cempaluk. Berikut penjelasan singkatnya
Makam Syekh Mohammad Ashral al
Mbah Wali Gendhon Kesesi
Sekitar
seratus enam puluh enam tahun yang lalu pada sebuah pedukuhan terpencil jauh
dari keramaian kota, yakni di Dukuh Kauman, Desa Kesesi, Kecamatan Kesesi,
Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, lahirlah seorang bayi laki-laki ganteng
dengan kulit sawo matang dari seorang ayah bernama Tarab dan ibu nya Tarkumi.
Bayi yang lahir di malam hari tersebut diberi nama Mohammad Ashral tepatnya
terlahir di tahun 1847 M.
Ashral
lahir di lingkungan keluarga sederhana dan mandiri, hidup apa adanya serta
tidak mengenal dunia kemewahan. Bahkan setelah menginjak usia baligh , ia sudah
ikut menggembalakan hewan ternak piaraan orang lain, untuk mengisi kesibukannya
sebagai seorang anak seperti pada umumnya yang suka bermain dan bermain.
Di
mata teman sebayanya, Ashral kecil ini dikenal sebagai anak pendiam dan dalam
pergaulan ia selalu mengalah di segala hal, juga sifat sebagai seorang pemaaf
sudah ditunjukan semenjak ia masih kecil meskipun banyak teman bermain tidak
jarang yang menyakiti, bahkan tidak jarang pula yang menghinanya. Dalam diri
Ashral tidak terbesit sedikitpun muncul perasaan dendam. Seketika itu pun ia
senantiasa langsung memaafkan teman sepermainan
yang menghinanya walau tidak diminta.
Seiring
berjalannya waktu, kini Ashral telah menginjak usia remaja akan tetapi sifatnya
masih seperti Ashral kecil dulu yang pendiam dan pemaaf. Barangkali sudah
menjadi karakter dan perwatakannya dan pengaruh dari pada sebuah pergaulan
tidak mempan merubah kepribadiannya yang sudah meresap dalam tulang dan daging
bocah kecil ini.
Bahkan
tidak jarang Ashral memperlihatkan sebuah keanehan (keunikan, keajaiban) yang
tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya. Yang lebih menonjol yaitu ia lebih
senang menjauh dari kehidupan yang bersifat keduniawiyah (kesenangan dunia
semata), seakan ia sudah tahu betul sejak kecil bahwa dunia dan seisinya hanya
cuma titipan-Nya, oleh karena itu ia lebih asyik mencari sesuatu yang lebih
hakiki.
Ia
lebih melihat ke sebuah esensi bukan sekedar eksistensinya saja. Atau
barangkali Ashral kecil sedang mencari sebuah mutiara hidup yang bersemayam
dalam dirinya sendiri.Inilah keunikan Ashral kecil selalu menjauh dan menjauh
dari sesuatu yang bersifat kediawian.
Dipandang
sudah dewasa oleh orang tuanya, maka pada suatu ketika kedua orang tua Ashral
memperkenalkan pada seorang perempuan untuk dijadikan sebagai pendamping hidup
Ashral. Sebab usia sebaya
Ashral di sebuah Pedukuhan Kauman Kesesi rata-rata sudah pada menikah usia
muda. Saat itu menikah di usia mudah bukan hal aneh atau menikah usia muda bisa
dianggap melanggar UU PPA seperti sekarang ini.
Usia sebelasan tahun di Dukuh Kauman sudah banyak yang
menikah, hal ini disebabkan oleh karena tradisi dari leluhur sebelumnya dan
turun temurun ke generasi berikutnya.
Tak lama kemudian sebuah perkawinan (ijab kobul) pun
dilaksanakan antara Ashral dengan wanita tersebut (tidak dijelaskan nama wanita
dan alamat). Namun, tiba-tiba semua terhenyak kaget melihat ulah Ashral.Yang
terjadi tidak seperti pada umumnya seorang lelaki setelah meminang seorang
perempuan.
Tatkala setelah ijab kobul (akad nikah) dilaksanakan pada
hari itu pulalah Ashral langsung pulang kembali ke rumah orang tua bersama
teman pengiring (pengantar pengantin) dan tidak mau kembali lagi ke tempat
istrinya yang baru saja dinikahi.
Kedua orang tua Ashral pun kaget dan dibuat bingung
olehnya. Beliau berusaha mencari tahu apa sebab musabab anaknya pulang secepat
itu. Selaksa pertanyaan pun mengelayut dibenak kedua orang tua Ashral.
Akhirnya, teka teki itu pun terjawab seketika.
“Nangapa kowe balik ora gelem mbojo, lup?”
“Aku pingin mondok bae, Mak. Aku kepingin aring pesantren
sinau agama men pinter,” jawabnya singkat dan menthes.
Sebab Mohammad Ashral pulang seketika dikarenakan ia belum ingin berumah tangga. Pada saat itu yang diinginkan Ashral muda bukan mencari pendamping hidup atau seorang istri, akan tetapi ia terpanggil dari telenging ati (jiwa yang dalam) hanya ingin menimba pengetahuan ilmu Agama Islam yang lebih mendalam dengan cara mondok di Pondok Pesantren (Ponpes). Sebuah cita-cita luhur yang jarang ditemukan pada jiwa sebaya Ashral pada saat itu.
Berangkat ke Cirebon.
Kemudian pagi-pagi benar Ashral menemui kedua orang tua
dan kerabatnya untuk pamitan dan memohon ijin pergi ke Babakan Ciwaringin,
Cirebon, Jawa Barat.Tujuan utama tak lain adalah untuk ngangsu kawruh (menimba
ilmu) Agama Islam dengan mondok (nyantri) di tanah Cirebon tersebut.
Akhirnya kedua orang tua Ashral dengan berat hati pun
mengijinkan dan merestuinya secara tulus ikhlas.Dengan sedikit uang sebagai
ongkos perjalanan dan dibekali makan untuk keperluan di jalan, maka Ashral
dengan tekad bulat dan nyawiji melangkahkan kaki seorang diri ke tempat yang
dikehendaki, hanya mengikuti kata hati dan ngetuti jangkahing laku raga kang
katuntun suksma.
Inilah awal petualang spiritual seorang anak Mohammad
Ashral pergi ke luar dari sebuah pedukuhan terpencil tempat tanah kelahiran
yang ia cintai. Ia lebih mengutamakan mencari dan mendalami ilmu Agama Islam
dari pada segalanya. Sampai kedua orang tuanya pun yang sangat mengasihi ia
rela tinggalkan, bahkan istri sah yang baru saja ia nikahi juga ia tinggalkan
begitu saja karena ada tugas yang lebih utama harus ia kerjakan.
Perjalanan panjang ia laluhi dengan jiwa lapang dada,
dengan usus panjang, dengan waduk segoro dan pikiran padang. Desa Kesesi
Pekalongan menuju ke Tanah Cirebon Jawa Barat bukan jarak dekat dijalani dengan
berjalan kaki. Saat itu belum ada Angkot atau Angdes seperti sekarang ini yang
jamanya serba instan.
Lain halnya pada jaman Ashral kecil. Butuh tenaga dan
kesabaran ekstra jika ingin bepergian jauh. Tidak mengenal siang atau malam,
perut keroncongan pun diabaikan begitu saja. Tapi semua kelelahan, rintangan,
tidak terasa bagi Ashral, ibarat pepatah Jawa bilang sakpira gedhining sangsara
yen tinampa amung dadi coba (seberapa besarnya penderitaan jika diterima dengan
lapang dada hanyalah sebuah cobaan). Jarak yang jauh, waktu yang lama dan
melelahkan bukan aral rintangan baginya. Pada waktu itu pengasuh Ponpes Babakan
Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat adalah Kyai Munir.
Artikel
By: LEMBAKMI RTIK