Selasa, 08 Juni 2021

Perjuangan dan kisah hidup Syekh Mohammad al Mbah Wali Gendon Kesesi (Lembakmi RTIK ‘20)

Jum'at, 7 Agustus 2020 pengurus Rayon Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Komisariat Ki Ageng Ganjur IAIN Pekalongan mengadakan kegiatan ziarah religi di makam Syekh Mohammad Ashral (Mbah Wali Gendhon) Kesesi, Pekalongan dan di makam Ki Ageng Cempaluk, Kesesi, Pekalongan. Kegiatan tersebut diadakan oleh pengurus Rayon Tarbiyah dan Ilmu Keguruan dengan tujuan untuk mengenang jasa dan perjuangan ulama Nusantara.

Untuk lebih memahami akan sejarah dari beliau maka kita juga perlu mengadakan kajian lebih lanjut mengenai perjuangan dan kisah hidup Syekh  Mohammad (Mbah Wali Gendon) dan Ki Ageng Cempaluk. Berikut penjelasan singkatnya

Makam Syekh Mohammad Ashral al Mbah Wali Gendhon Kesesi

Sekitar seratus enam puluh enam tahun yang lalu pada sebuah pedukuhan terpencil jauh dari keramaian kota, yakni di Dukuh Kauman, Desa Kesesi, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, lahirlah seorang bayi laki-laki ganteng dengan kulit sawo matang dari seorang ayah bernama Tarab dan ibu nya Tarkumi. Bayi yang lahir di malam hari tersebut diberi nama Mohammad Ashral tepatnya terlahir di tahun 1847 M.

Ashral lahir di lingkungan keluarga sederhana dan mandiri, hidup apa adanya serta tidak mengenal dunia kemewahan. Bahkan setelah menginjak usia baligh , ia sudah ikut menggembalakan hewan ternak piaraan orang lain, untuk mengisi kesibukannya sebagai seorang anak seperti pada umumnya yang suka bermain dan bermain.

Di mata teman sebayanya, Ashral kecil ini dikenal sebagai anak pendiam dan dalam pergaulan ia selalu mengalah di segala hal, juga sifat sebagai seorang pemaaf sudah ditunjukan semenjak ia masih kecil meskipun banyak teman bermain tidak jarang yang menyakiti, bahkan tidak jarang pula yang menghinanya. Dalam diri Ashral tidak terbesit sedikitpun muncul perasaan dendam. Seketika itu pun ia senantiasa langsung memaafkan teman sepermainan  yang menghinanya walau tidak diminta.

Seiring berjalannya waktu, kini Ashral telah menginjak usia remaja akan tetapi sifatnya masih seperti Ashral kecil dulu yang pendiam dan pemaaf. Barangkali sudah menjadi karakter dan perwatakannya dan pengaruh dari pada sebuah pergaulan tidak mempan merubah kepribadiannya yang sudah meresap dalam tulang dan daging bocah kecil ini.

Bahkan tidak jarang Ashral memperlihatkan sebuah keanehan (keunikan, keajaiban) yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya. Yang lebih menonjol yaitu ia lebih senang menjauh dari kehidupan yang bersifat keduniawiyah (kesenangan dunia semata), seakan ia sudah tahu betul sejak kecil bahwa dunia dan seisinya hanya cuma titipan-Nya, oleh karena itu ia lebih asyik mencari sesuatu yang lebih hakiki.

Ia lebih melihat ke sebuah esensi bukan sekedar eksistensinya saja. Atau barangkali Ashral kecil sedang mencari sebuah mutiara hidup yang bersemayam dalam dirinya sendiri.Inilah keunikan Ashral kecil selalu menjauh dan menjauh dari sesuatu yang bersifat kediawian.

Dipandang sudah dewasa oleh orang tuanya, maka pada suatu ketika kedua orang tua Ashral memperkenalkan pada seorang perempuan untuk dijadikan sebagai pendamping hidup Ashral. Sebab usia sebaya Ashral di sebuah Pedukuhan Kauman Kesesi rata-rata sudah pada menikah usia muda. Saat itu menikah di usia mudah bukan hal aneh atau menikah usia muda bisa dianggap melanggar UU PPA seperti sekarang ini.

Usia sebelasan tahun di Dukuh Kauman sudah banyak yang menikah, hal ini disebabkan oleh karena tradisi dari leluhur sebelumnya dan turun temurun ke generasi berikutnya.

Tak lama kemudian sebuah perkawinan (ijab kobul) pun dilaksanakan antara Ashral dengan wanita tersebut (tidak dijelaskan nama wanita dan alamat). Namun, tiba-tiba semua terhenyak kaget melihat ulah Ashral.Yang terjadi tidak seperti pada umumnya seorang lelaki setelah meminang seorang perempuan.

Tatkala setelah ijab kobul (akad nikah) dilaksanakan pada hari itu pulalah Ashral langsung pulang kembali ke rumah orang tua bersama teman pengiring (pengantar pengantin) dan tidak mau kembali lagi ke tempat istrinya yang baru saja dinikahi.

Kedua orang tua Ashral pun kaget dan dibuat bingung olehnya. Beliau berusaha mencari tahu apa sebab musabab anaknya pulang secepat itu. Selaksa pertanyaan pun mengelayut dibenak kedua orang tua Ashral.

Akhirnya, teka teki itu pun terjawab seketika.

“Nangapa kowe balik ora gelem mbojo, lup?”

“Aku pingin mondok bae, Mak. Aku kepingin aring pesantren sinau agama men pinter,” jawabnya singkat dan menthes.

Sebab Mohammad Ashral pulang seketika dikarenakan ia belum ingin berumah tangga. Pada saat itu yang diinginkan Ashral muda bukan mencari pendamping hidup atau seorang istri, akan tetapi ia terpanggil dari telenging ati (jiwa yang dalam) hanya ingin menimba pengetahuan ilmu Agama Islam yang lebih mendalam dengan cara mondok di Pondok Pesantren (Ponpes). Sebuah cita-cita luhur yang jarang ditemukan pada jiwa sebaya Ashral pada saat itu.

Berangkat ke Cirebon.

Kemudian pagi-pagi benar Ashral menemui kedua orang tua dan kerabatnya untuk pamitan dan memohon ijin pergi ke Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat.Tujuan utama tak lain adalah untuk ngangsu kawruh (menimba ilmu) Agama Islam dengan mondok (nyantri) di tanah Cirebon tersebut.

Akhirnya kedua orang tua Ashral dengan berat hati pun mengijinkan dan merestuinya secara tulus ikhlas.Dengan sedikit uang sebagai ongkos perjalanan dan dibekali makan untuk keperluan di jalan, maka Ashral dengan tekad bulat dan nyawiji melangkahkan kaki seorang diri ke tempat yang dikehendaki, hanya mengikuti kata hati dan ngetuti jangkahing laku raga kang katuntun suksma.

Inilah awal petualang spiritual seorang anak Mohammad Ashral pergi ke luar dari sebuah pedukuhan terpencil tempat tanah kelahiran yang ia cintai. Ia lebih mengutamakan mencari dan mendalami ilmu Agama Islam dari pada segalanya. Sampai kedua orang tuanya pun yang sangat mengasihi ia rela tinggalkan, bahkan istri sah yang baru saja ia nikahi juga ia tinggalkan begitu saja karena ada tugas yang lebih utama harus ia kerjakan.

Perjalanan panjang ia laluhi dengan jiwa lapang dada, dengan usus panjang, dengan waduk segoro dan pikiran padang. Desa Kesesi Pekalongan menuju ke Tanah Cirebon Jawa Barat bukan jarak dekat dijalani dengan berjalan kaki. Saat itu belum ada Angkot atau Angdes seperti sekarang ini yang jamanya serba instan.

Lain halnya pada jaman Ashral kecil. Butuh tenaga dan kesabaran ekstra jika ingin bepergian jauh. Tidak mengenal siang atau malam, perut keroncongan pun diabaikan begitu saja. Tapi semua kelelahan, rintangan, tidak terasa bagi Ashral, ibarat pepatah Jawa bilang sakpira gedhining sangsara yen tinampa amung dadi coba (seberapa besarnya penderitaan jika diterima dengan lapang dada hanyalah sebuah cobaan). Jarak yang jauh, waktu yang lama dan melelahkan bukan aral rintangan baginya. Pada waktu itu pengasuh Ponpes Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat adalah Kyai Munir.

Artikel By: LEMBAKMI RTIK


Previous Post
Next Post

0 komentar: